Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada Desember 2015 membuat benda-benda bersejarah yang diduga peninggalan Sriwijaya bermunculan. Kumpulan benda bersejarah tersebut akhirnya mulai dicari warga di bekas lahan terbakar.
Penemuan “harta karun” disebut sudah terjadi sejak 2005, namun karhutla membuat kegiatan berburu harta karun jadi populer.
Pemerintah dan balai arkeologi setempat emang langsung bertindak cepat mengamankan dan mendata sebanyak mungkin benda cagar budaya yang ditemukan, demi kepentingan sejarah.
Sampai enam tahun berselang, pemerintah masih terlihat kewalahan dengan tugas ini. Pasalnya, warga yang menemukan harta karun cenderung menjualnya ke kolektor atau toko emas demi dapat uang kontan.
Anggota Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Novie Hari menilai masih banyak benda cagar budaya yang berada di tangan masyarakat. BPCB terus berupaya mengedukasi dan merespons laporan masyarakat terkait pentingnya melaporkan temuan benda bersejarah ke pemerintah.
“Jika ada yang ingin menjual ke luar negeri, saya bilang tidak boleh karena bisa hilang jejak dan kebanggaan Sriwijaya-nya. Akhirnya, setiap mau menjual, mereka jadi ragu karena fakta Sriwijaya di Palembang bisa hilang,” kata Novie mengutip Detik.
Sepanjang 2016-2020, Novie mengaku pihaknya sudah memberi kompensasi kepada masyarakat yang melaporkan benda-benda tersebut ke pemerintah. Setidaknya 63 item tercatat ditemukan warga, ditemukan di 10 lokasi di Kabupaten OKI. Bentuknya berupa kendi, tempayan, mangkuk, cincin, liontin, anting, serta aksesori berbahan emas seperti gantungan lampu.
Selain diburu warga, harta Sriwijaya juga menarik minat kolektor, sampai-sampai mengirim “pemburu harta karun” khusus. Aksi-aksi partikelir ini makin menyulitkan usaha pemerintah melacak peninggalan masa kuno.
Arkeolog dari Badan Arkeologi Sumsel Retno Purwanti mengonfirmasi fenomena ini sudah didapati sejak 2019. “Kebanyakan warga disuruh kolektor atau pemburu harta karun dari Lampung. Karena benda bersejarah di Lampung sudah habis, mereka geser ke Sumsel. Warga ditawari harga yang cukup tinggi apabila menemukan benda-benda bersejarah itu,” kata Retno dilansir Kompas.
Kepala BPCB empat provinsi (Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Bangka-Belitung) Iskandar Mulia Siregar mengaku timnya terus berkoordinasi dengan kepolisian, balai arkeologi, dan pemerintah daerah OKI untuk mengkaji temuan cagar budaya di Sumsel. “Biasanya dilaporkan dulu, biar diteliti, itu cagar budaya atau tidak. Kalau diputuskan cagar budaya juga boleh dimiliki masyarakat, secara UU seperti itu. Ada yang boleh, ada yang harus diambil negara,” kata Iskandar kepada BBC Indonesia.
Iskandar menyebut, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp20 juta per tahun untuk empat provinsi tersebut buat menebus hasil temuan masyarakat. Dari nominal ini, kita setidaknya paham mengapa masyarakat lebih memilih menjual barang temuan mereka ke kolektor ataupun toko emas. Godaan valuasi kolektor jauh lebih baik.
BBC Indonesia melaporkan, salah satu pemburu harta karun yang menemukan cincin emas berukir ikan di OKI berhasil menjualnya Rp40 juta kepada kolektor di Palembang. Dari sini, semestinya pemerintah paham apa yang mesti mereka lakukan.